RIZMY OTLANI BLOG
Menu  
  Home
  Tentang Saya
  Artikel
  => Analisis Aspek Perpajakan Obligasi Syariah
  => Dua Seuntai Perpajakan -Reformasi Aturan Perpajakan & Idealisme Fiskus
  => Kasus Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pengadilan Pajak, dan Kode Etik
  Informasi & Bisnis
  Cerita
  Konsultasi & Tanya Jawab
  Guest Book
  Toplist
  Contact
  Polling
  Berlangganan
outlane.corp
Analisis Aspek Perpajakan Obligasi Syariah
 

 

ANALISIS ASPEK PERPAJAKAN OBLIGASI SYARIAH

 oleh Rizmy Otlani Novastria

2011

“Penulis adalah Mahasiswi Spesialisasi Administrasi Perpajakan”

     Sejak pasar modal syariah mucul pada tahun 2003, instrument dan institusi syariah pun semakin meningkat. Salah satu instrument pembiayaan yang mulai diminati adalah obligasi syariah. Walaupun obligasi identik dengan bunga, obligasi syariah ini justru menggunakan sistem bagi hasil dan sama sekali tidak melibatkan adanya bunga.

     Terdapat dua jenis obligasi syariah, yaitu obligasi mudharabah dan obligasi ijarah. Walaupun sama-sama menggunakan nama obligasi, peruntukan dan sistem kedua jenis obligasi ini sangat berbeda. Obligasi mudharabah lebih condong kepada pembiayaan dengan sistem bagi hasil. Sementara, obligasi ijarah yang dalam pembiayaan konvensional lebih dikenal dengan nama sewa guna usaha, lebih condong kepada pembiayaan dengan melibatkan transaksi pengalihan atau sewa menyewa asset.

     Supaya lebih jelas membedakan keduanya, berikut akan dijelaskan apa yang dimaksud obligasi mudharabah dan obligasi ijarah secara sederhana. Obligasi mudharabah merupakan kerja sama dengan sistem bagi hasil pendapatan. Jenis obligasi ini akan memberikan pengembalian dengan menggunakan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan. Proses yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Emiten atau yang dikenal dengan nama mudharib menerbitkan obligasi kepada

investor dengan tujuan untuk pendanaan proyek tertentu yang terpisah dari proyek lainnya.

2. Keuntungannya didistribusikan kepada investor dengan sistem bagi hasil dan tidak disebutkan proporsi pembagian keuntungannya pada awal perjanjian.

     
     Model pembiayaan seperti ini sebenarnya menggunakan prinsip hutang jangka panjang, namun karena adanya sistem bagi hasil yang tidak tetap jumlahnya tersebut, seolah-olah obligasi tersebut hampir mirip dengan penyertaan ekuitas. Sekilas, bagi hasil obligasi tersebut seperti dividen karena adanya penyertaan modal. Walaupun demikian, secara akuntansi, obligasi syariah ini tetap diperlakukan sebagai hutang jangka panjang. Lalu bagaimanakah obligasi syariah mudharabah ini jika dilihat dari aspek perpajakannya?


     Masih belum ada peraturan perpajakan yang secara khusus mengatur perlakuan

perpajakan untuk obligasi syariah ini. Namun, bila ditinjau dari aspek perpajakan dan peraturan perpajakan yang berlaku saat ini, berikut akan dipaparkan perlakuan perpajakan untuk obligasi mudharabah.

     Menurut PP 16 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan berupa Bunga Obligasi, yang dimaksud dengan obligasi adalah surat utang atau surat utang negara yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan. Meskipun menggunakan sistem bagi hasil, karakteristik sebagai obligasi tetap masih melekat pada obligasi syariah. Selain itu, menurut akuntansi, obligasi ini tetap dianggap sebagai hutang, bukan sebagai penyertaan modal. Dengan demikian, perlakuan atas bagi hasil dari obligasi syariah mudharabah ini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat 2 UU PPh jo. PP 16 tahun 2009:


Bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar

1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan

2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi

     Jumlah bruto bunga obligasi yang dimaksud dalam prinsip syariah ini adalah sama dengan bagi hasil yang diperoleh investor. Pemotongan PPh pasal 4 ayat 2 dilakukan oleh penerbit obligasi pada saat jatuh tempo pembayaran bagi hasil.

     Jenis obligasi syariah yang lain adalah obligasi syariah ijarah. Obligasi ini merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang/jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa tanpa adanya pengalihan hak atas barang tersebut. Pemegang obligasi ijarah akan mendapatkan keuntungan berupa penghasilan sewa. Obligasi ijarah sendiri dibagi ke dalam dua jenis, yaitu obligasi syariah ijarah tanpa SPV dan obligasi syariah ijarah tanpa SPV. SPV di sini berfungsi sebagai emiten yang menerbitkan obligasi serta melakukan pembelian

asset.

     Dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah ijarah tanpa melibatkan SPV, pemilik aset akan bertindak sebagai penerbit obligasi syariah ijarah. Investor membeli obligasi syariah ijarah sebagai bukti penyertaan atas aset atau atas manfaat aset. Pemilik aset dapat menyewakan aset yang dijadikan dasar penerbitan obligasi syariah ijarah kepada pihak ketiga atau menyewa kembali aset tersebut untuk dirinya sendiri. Selanjutnya sebagai pemilik aset atau manfaat atas aset, investor berhak atas penghasilan sewa yang dihasilkan aset tersebut.


     Jika kita tinjau dari segi perpajakan, ada beberapa poin penting menurut penulis terkait masalah obligasi syariah ijarah tanpa SPV tersebut.

a. Tidak ada pengalihan hak atas asset sehingga pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPN dan Pasal 1A UU PPN tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum transaksi tersebut.

b. Ada transaksi sewa menyewa antara PT dengan pihak ketiga, maka dikenai PPN berdasarkan pasal 4 ayat 1 huruf c UU PPN. PPN dipungut oleh PT X atas jasa penggunaan asset oleh pihak ketiga. Dasar pengenaan pajaknya adalah penggantian yang dalam hal ini adalah jumlah bruto pembayaran sewa.

c. Dalam hal pemakaian asset oleh PT X sendiri, maka dianggap pemakaian jasa sendiri menurut pasal 4 ayat 1 huruf c UU PPN jo KEP 87/PJ/2002 sehingga terutang PPN dengan dasar pengenaan pajak adalah nilai penggantian dikurangi laba kotor.

d. Atas penghasilan sewa dipotong PPh pasal 23 oleh pihak ketiga 
e. Jika PT X menyewakan asset kepada dirinya sendiri, maka PT X harus self assessment memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri, yaitu memotong dan menyetor PPh pasal 23.

f. Perlakuan perpajakan untuk bunga obligasi yang dalam hal ini berupa penghasilan sewa untuk investor dipotong PPh final pasal 4 ayat 2 sbsr 15% (PP 15 tahun 2009) oleh PT X selaku emiten/penerbit obligasi.
  

     Jika dilihat sekilas, perlakuan perpajakan tersebut hampir mirip dengan perlakuan perpajakan untuk sewa guna usaha tanpa hak opsi. Perbedaannya hanyalah adanya obligasi sebagai wujud penyertaan atas asset oleh investor.


     Sementara, jenis obligasi syariah ijarah selanjutnya adalah obligasi syariah ijarah dengan SPV. Mekanisme penerbitan obligasi syariah dengan SPV adalah PT X akan menjual asset kepada suatu perusahaan (sebagai SPV) yang selanjutnya SPV tersebut akan menerbitkan obligasi syariah ijarah kepada para investor dimana obligasi syariah ijarah tersebut merupakan bukti kepemilikan yang mewakili bagian penyertaan atas aset/manfaat aset yang akan dibeli dari emiten. Investor membayar sejumlah tertentu sebagai pembayaran atas bagian kepemilikan yang didapatnya Selanjutnya selama periode obligasi syariah ijarah, PT X akan menyewa kembali aset yang telah dijualnya tersebut dan membayar sewa aset tersebut kepata SPV selaku wakil investor. Pada akhir periode sewa, pemilik aset akan membeli kembali aset yang bersangkutan dari SPV dan SPV akan menarik obligasi syariah ijarah dengan dana yang didapatkannya dari pemilik awal aset.

    Transaksi tersebut menurut penulis dapat dipersamakan perlakuan perpajakannya dengan transaksi sale and lease back. Berikut akan dijelaskan aspek perpajakan sale and lease back. Berdasarkan SE 129/pj/2010 tentang perlakuan pajak pertambahan nilai atas transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi dan transaksi penjualan dan penyewagunausahaan kembali disebutkan sebagai berikut:

     Transaksi penjualan dan penyewagunausahaan kembali (sale and leaseback)

1) Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha dengan hak opsi :
a) penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) tidak termasuk

dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai karena: 
(1) Barang Kena Pajak yang menjadi objek pembiayaan berasal dari milik lessee, yang dijual oleh lessee untuk kemudian dipergunakan kembali oleh lessee;
(2) lessor pada dasarnya hanya melakukan penyerahan jasa pembiayaan, tanpa bermaksud memiliki dan menggunakan barang yang menjadi objek pembiayaan tersebut;
(3) penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dari lessee kepada lessor pada dasarnya merupakan penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
b) penyerahan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback) merupakan jasa pembiayaan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

 

 

 

 
 

     Berdasarkan penegasan SE 129/PJ/2010 tersebut, dapat ditarik kesimpulan perlakuan perpajakan untuk obligasi syariah ijarah dengan SPV.
a. Pada saat PT DJRP menyerahkan asset kepada SPV, dianggap penyerahan untuk jaminan utang piutang, sehingga tidak terutang PPN menurut pasal 1A ayat 2 huruf b UU PPN.
b. Atas jasa sewa asset oleh SPV kepada PT X, dipersamakan dengan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi sehingga merupakan jasa pembiayaan yang tidak dikenai PPN. Dalam hal ini SPV tidak memungut PPN atas jasa sewa yang diberikannya kepada PT X.
c. Saat akhir periode, saat PT X harus menebus kembali asetnya juga tidak terutang PPN karena masih merupakan penyerahan dalam jaminan utang piutang.
d. Karena jasa pembiayaan ini dianggap mirip dengan sale and lease back dengan hak opsi, maka PT X tidak memotong PPh pasal 23 kepada SPV. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat 4 huruf b UU PPh.
e. Atas obligasi yang dijual SPV akan dipotong PPh pasal 4 ayat 2 sebesar 15% (PP 15 tahun 2009). Dasar pengenaan pajaknya adalah selisih antara harga beli obligasi dengan jumlah bruto yang diperoleh investor saat obligasi ditarik kembali oleh SPV.

     Demikianlah analisis penulis tentang aspek perpajakan obligasi syariah. Analisis tersebut murni adalah pendapat penulis sebab belum ada ketentuan perpajakan yang khusus mengatur mengenai obligasi syariah ini. Penulisan dilakukan penulis berdasarkan analisa ketentuan perpajakan yang ada dan pengetahuan penulis. CMIIW.

“Energi suksesmu akan mengikut Imajinasimu – Albert Einstein”

***


Tangerang, 7 Juni 2011

Rizmy Otlani Novastria

 

 
About me  
   
Sekilas Tentang Saya  
   
My Motto  
   
Life is full of challenge  
  cool myspace layouts

 
 
   
Today, there have been 1 visitors (1 hits) on this page!

bigoo.ws
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free